Padahal, sejak 1980-an, melalui Inpres No 5/1984 tentang Penye-derhaan Perizinan di Bidang Usaha, pemerintah telah melakukan upaya perbaikan. Begitu pun semenjak reformasi bergulir pada 1997, pemerintah telah mengaji kembali arti pentingnya mutu pelayanan publik sena pentingnya melakukan perbaikan. Dan untuk keperluan itu, pada (ahun 2003, diterbitkan Keputusan Menpan No 63/ KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pelayanan publik bermutu masih jauh dari harapan. Yang mengemuka hanya terdapat upaya meningkatkan kualitas pelayanan melalui aturan-aturan, tetapi lemah dalam peningkatan kemampuan aparat (birokrat) dalam memberikan pelayanan. Padahal, tuntutan perbaikan pelayanan tidak saja ditujukan untuk melayani masya-rakat, tetapi juga memberikan iklim kondusif bagi dunia usaha nasional untuk meningkatkan daya tarik arus investasi dari luar negeri karena faktor kemudahan birokrasi.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Universitas Gajah Mada pada 2002 tentang kualitas pelayanan publik sejak otonomi daerah, efisiensi dan keefektifan, renposiviias, kesamaan perlakuan, dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari harapan. Dengan demikian, dapat disimpulkan apa yang dilakukan pemerintah belum banyak memberikan kontribusibagi perbaikan kualitas pelayanan publik negeri ini.
Bahkan aparat birokrasi belum mampu menyelenggarakan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat. Hanya 3 persen dari 360 unit penyelenggara pelayanan publik dari sekitar 12.000 unit antara lain Kabupaten Jembrana, Sragen, Solok dan Kota Pare-pare yang dapat melakukannya (hal 4).
Menurut buku ini, penyakit pelayanan publik dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, perta penyelenggaraan. Kedua, sumber daya manusia. Ketiga, kelembagaan. Pola penyelenggaraan pelayanan publik memunyai kelemahan kurang responsif yang terjadi hampir di semua tingkatan.
Respons terhadap keluhan masyarakat lambat ditanggapi atau bahkan diabaikan begitu saja. Selain itu, aparat yang ada kurang informatif. Informasi yang mestinya diberikan cepat justru tidak disampaikan. Yang tidak kalah menggelisahkan adalah berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama diselesaikan.
Perbaikan yang diperlukan dalam konteks mikro di antaranya standar pelayanan yang meliputi indikator penilaian mutu pelayanan pemda, adanya standard operating procedure, pengembangan survei tentang kepuasan penerima pelayanan, dan pengelolaan sistem pengaduan. Peresensi adalah Paulus Mujiran,alumnus Pascasarjana Magister
Tidak ada komentar:
Posting Komentar